22 September 2010

Indonesia Mengekspor Ilmuwan Muda


Apa tidak salah judul artikel saya ini ? Sejak kapan Indonesia mengekspor para ilmuwan muda ? Jawabannya sejak Anda membaca blog saya ini.

Indonesia melepas begitu banyak para ilmuwan muda kita hanya gara-gara tidak diperhatikan oleh pemerintah. Komisi X DPR RI juga mengiyakan hal yang sama. Lantas pada lari kemana ilmuwan muda kita ? Tersebar dibanyak negara tapi “importir” terbesar adalah Malaysia dan Singapura. Bahkan saya berasumsi majunya kedua Negara itu juga karena turut andil para ilmuwan kita yang “mengabdi” untuk kedua Negara tersebut.

Sangat disayangkan memang apa yang telah terjadi, para ilmuwan-ilmuwan muda yang diharapkan dapat menjadi “penopang” Negara ini di masa yang akan datang malah memutuskan untuk “membelot” ke Negara lain. Tapi Anda jangan menyalahkan para ilmuwan muda kita, mereka melakukan hal itu karena pemerintah kurang memperhatikan mereka. Pemerintah jarang bahkan sangat jarang memberikan para ilmuwan tersebut dana hibah untuk melakukan penelitian. Sementara Negara lain siap memberikan dana yang berlimpah untuk melakukan penelitian dan bahkan Negara tersebut siap “menyekolahkan” mereka kembali demi memperdalam dan memperluas ilmu yang para ilmuwan itu miliki. Itulah alasan utama mereka akhirnya “pindah” ke Negara lain.

Lantas apakah kita sudah kehabisan “stok” ilmuwan di Negara yang kita cintai ini ? Menurut saya tidak. Masih banyak para “calon ilmuwan” yang siap menjadi penggati para ilmuwan yang telah pergi itu dan yang pasti mereka akan siap mengabdi untuk Negara ini jika pemerintah mau “berinvestasi” dengan memberikan dana hibah penelitian untuk mereka. Toh pada akhirnya hasil penelitian yang telah dilakukan para ilmuwan-ilmuwan tersebut berguna demi kemajuan bangsa kita.

17 September 2010

Sebuah Catatan Kecil untuk Mr President

Saya hanyalah seorang mahasiswa jurusan ekonomi yang tidak mengerti tentang politik apalagi hukum ataupun ilmu ketatanegaraan. Saya bukanlah seorang demonstran yang selalu melakukan aksi di jalanan ataupun di gedung DPRD dan saya bukanlah seorang penghina.

Kenapa saya memperbesar ukuran font pada kata penghina ? Ya saya sedikit kasihan dengan Mr President kita. Dia dihina, dicaci, dimaki, dihujat, bahkan yang paling ironis disamakan dengan seekor hewan (kerbau). Dan yang pasti saya bukanlah orang yang seperti itu, saya tidak ada keinginan untuk menghina Mr President karena saya menghormati Mr President sebagi kepala Negara. Namun Anda jangan senang dulu, saya punya beberapa kritikan yang lumayan keras kepada Mr President. Bolehkan saya mengkritik Mr President ?

Banyak kebijakan Mr President yang membuat saya terheran-heran, kita sebut saja mulai dari kebijakan Mr President memberikan satu unit mobil Toyota Royal Crown Saloon kepada setiap menteri dan beberapa pejabat penting di negara ini sebagai “angkutan” sehari-hari mereka. Mr President tahukan kalau satu unit mobil itu berharga lebih dari dua miliar rupiah. Apa Mr President tidak salah perhitungan ? Apa Mr President tidak melihat begitu banyak rakyat miskin di Negara kita ini yang lebih berhak untuk mendapatkan uang itu dari pada Mr President belanjakan hanya untuk sejumlah unit mobil mewah yang sebenarnya nggak penting-penting amat ?

Banyak ilmuwan-ilmuwan muda di Negara kita ini yang akhirnya bekerja di luar negeri hanya karena tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, banyak para atlet yang pernah mengharumkan Negara kita akhirnya pergi ke Negara lain untuk melatih hanya karena pemerintah tidak lagi memperhatikan nasib mereka, banyak rakyat miskin akhirnya jadi pengemis, pencuri, bahkan perampok hanya karena pemerintah asik “ hitung-hitungan” soal APBN.

Ya itulah realita yang sebenarnya terjadi negara kita. Sebenarnya bukan hanya Mr President saja yang seperti itu, para “penguasa parlemen” pun setali tiga uang bahkan lebih parah dari pada Mr President.

So, Look Listen and Fell sebelum bertindak ya Mr President.

Nasionalisme Tak Harus Perang

Ketika Malaysia menangkap tiga petugas kelautan kita dan ,isunya, ditukar dengan tujuh nelayan Malaysia, kita seolah terbakar nasionalismenya. Ditambah lagi dengan sikap arogansi Malaysia yang tidak menggubris satu pun dari tujuh permintaan Indonesia kepada Malaysia yang membuat rakyat Indonesia semakin terbakar lagi nasionalismenya. Mungkin wujud dari nasionalisme itu adalah dengan melakukan demo besar-besaran di kedubes Malaysia yang disertai dengan pembakaran bendera Malaysia.

             Tapi apakah itu saja cukup ? Laskar Merah Putih melalui kesekretariatannya siap menampung “nasionalisme” rakyat Indonesia dengan membuka posko pendaftaran geriliawan siap perang melawan Malaysia. Tapi apakah nasionalisme ini akan bertahan lama ?

            Lebih jauh mengenai nasiolisme adalah bukan hanya sekedar perang membela tanah air, nasionalisme adalah kecintaan seseorang terhadap negaranya. Oke dengan menjadi geriliawan siap perang adalah sebagai wujud sikap nasionalisme kita sebagai rakyat Indonesia tapi lebih jauh lagi nasionalisme itu bukan hanya sekedar perang.

            Anak muda menciptakan sebuah teori-teori modern yang bisa menjadi masukan untuk pembaharuan manajemen Negara kita, ilmuwan-ilmuwan muda melakukan praktek dan akhirnya mampu menciptakan sebuah temuan baru yang berguna demi kemajuan bangsa lalu para blogger memposting ataupun mempublikasikan tentang Indonesia secara lebih detail. Itu termasuk sebagai sikap nasionalisme yang lebih baik daripada hanya sekedar perang melawan Malaysia.

Kemiskinan di Era Kapitalisme

Semakin banyak rakyat Indonesia yang menyembah apa yang kita sebut dengan uang. Anda tidak percaya ? Lihatlah apa yang terjadi ketika bulan Ramadhan telah tiba. Beratus bahkan beribu orang mengantri untuk mendapatkan sedekah berupa uang maupun sembako yang jika kita lihat dari kuantitasnya tidaklah seberapa namun bagi mereka itu sangatlah berarti. Lantas apa hubungannya dengan kemiskinan di era kapitalisme ?

Hmm, mari kita lihat pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh para pihak swasta, lebih baik kita sebut para kapitalis, baik pusat perbelanjaan yang lazim kita sebut dengan Mal ataupun pembangunan hotel, diskotik, dan yang paling getol adalah pembangunan properti. Jika kita melihat sekilas seperti terlihat bahwa Negara kita ini berada di era kemajuan tapi mari masuk lebih dalam lagi ke bagian Sub Urban Negara ini maka akan terlihat wujud nyata dari Negara tercinta kita ini. Apakah pembangunan yang dilakukan pihak swasta dapat dinikmati oleh para marginal ? Tidak !

            Kucuran kredit miliyaran bahkan mungkin sampai triliunan rupiah yang diberikan oleh bank umum atas persetujuan bank sentral jelas hanya akan dinikmati para kapitalis juga. Bagaimana mungkin para marginal bisa dugem di diskotik terbaik Negara ini jika untuk makan saja kadang-kadang terancam. Bagaimana mungkin para marginal bisa membeli property terbaik di negeri ini jika tinggal di kolong jembatan saja susahnya setengah mati.

            Jadi mari kita lihat bahwa efek dari pembangunan multisegi ini adalah makin terpinggirkannya kaum marginal yang sebelumnya saja sudah terpinggirkan. So Look, Listen, and Fell Mr President sebelum bertindak.

Kapankah Industri Prostitusi Akan Hancur ?

Pertanyaan tersebut akan memiliki jawaban yang sama jika Anda bertanya ”Kapankah Industri Rumah Makan Akan Berakhir ?” Hampir tidak mungkin hal itu terjadi. Makanan dan minuman adalah industri komoditi terbaik yang tak akan pernah punah. Selagi manusia memiliki mulut dan ,maaf, saluran pencernaan maka yang namanya makanan dan minuman akan selalu kita butuhkan. Hal senada juga berlaku terhadap industri “panas” ini. Ya bisnis prostitusi.

Bisnis prostitusi bukanlah hal yang baru di Negara kita ini. Semenjak kita dijajah oleh bangsa Eropa dan terakhir oleh bangsa Jepang, bisnis prostitusi telah ada dan bahkan dapat dikatakan sebagai cikal bakal dimulainya bisnis haram ini. Jika pada waktu itu konsumennya adalah para penguasa dan penjajah maka pada zaman sekarang konsumennya adalah para pejabat, pengusaha, hingga para pekerja rendahan. Jika pada dahulu komoditasnya adalah para kembang desa yang masih perawan maka pada zaman sekarang ya paling tidak para mahasisiwi alias ayam kampus hingga siswi SMP.

            Bukannya tidak ada usaha yang dilakukan pemerintah untuk meruntuhkan “bisnis nista” ini, namun secara pribadi saya tidak yakin bahwa bisnis “esek-esek” ini dapat dengan mudah dimusnahkan. Bagaimana mungkin bisnis ini bisa stop jika demand dari para konsumen sangat tinggi. Saya yakin dalam satu hari saja terjadi lebih dari puluhan transaksi seksual baik yang dilakukan oleh para pelacur ataupun para gigolo di negeri tercinta kita ini. Jadi intinya selagi pria masih memiliki penis dan wanita masih memiliki vagina maka bisnis prostitusi cukup sulit untuk diberantas.

            Lantas kapan bisnis terlarang ini akan hancur ? Hanya waktu yang dapat menjawabnya.

Korupsi di Gedung Parlemen

Hampir tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mau rugi ketika berinvestasi, baik pedagang apalagi anggota dewan yang terhormat. Jika para pedagang berinvestasi dengan cara berjualan barang ataupun jasa maka para anggota dewan berinvestasi dengan cara berjualan janji.
Namun tahukah Anda bentuk “keuntungan” yang diperoleh para anggota dewan kita ? Mulai dari gaji pokok per bulan disertai tunjangan ataupun insentif lainnya hingga komisi bahkan korupsi yang lagi “ngetrend” dikalangan anggota dewan.

         Berbicara soal korupsi saya jadi tertarik nih untuk sedikit mengulik apa yang sebenarnya menjadi asal-usul terjadinya korupsi di gedung parlemen. Menurut saya tanpa disadari semua kasus korupsi itu berawal dari Anda. Ya Anda lah yang menyebabkan korupsi itu terjadi. Kenapa saya mengatakan Anda sebagai penyebab terjadinya kasus korupsi di negeri tercinta kita ini ?
           
            Para Calon Legislatif, lebih lazim disebut dengan caleg, berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan suara Anda agar niatnya menjadi “penghuni rumah aspirasi rakyat” dapat terwujud. Demi memuluskan langkahnya tersebut, para caleg harus menguras habis pundi-pundi uangnya bahkan jika diperlukan dengan meminjam dana segar dari pihak ketiga, entah itu keluarga, teman, atau mungkin saja kepada bank namun ada pula para caleg yang didukung oleh sponsor. Dana yang ada akan digunakan sebagi modal untuk berkampanye. Bentuk kampanye sendiri pun sangat beragam, mulai dari memperkenalkan diri melalui spanduk, baliho, poster, stiker, asesoris, cinderamata, kalender, hingga iklan berbayar di radio lokal ataupun televisi lokal hingga money politic.

            Nah ketika para caleg tadi sudah berhasil “duduk manis” dikursi para anggota dewan maka mereka akan berusaha bagaimana caranya agar modal yang telah mereka keluarkan dapat segera kembali ke kantong mereka masing-masing. Ya paling tidak balik modal saja lah dulu baru setelah itu memikirkan soal bagaimana caranya untuk memperoleh keuntungan. Belum lagi jika dana kampenye tersebut berasal dari pinjaman pihak ketiga ataupun sponsor, otomatis mereka para caleg tadi berkewajiban untuk mengembalikan penuh uang yang telah mereka pinjam beserta bunga-bunganya.

            Jadi jangan heran jika para anggota dewan diperiode kali ini lebih “matre” dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika korupsi makin lama makin menggila lantas siapa yang patut kita salahkan.

Ada Apa dengan Parlemen ?

Seperti tak habis ide untuk menghabiskan APBN, mulai dari kebijakan “sejuta laptop” untuk setiap anggota DPR hingga yang paling teranyar adalah renovasi gedung DPR/MPR secara besar-besaran yang ditaksir akan menguras APBN kita sekitar 1,2 triliun bahkan bisa lebih. Apa tepat kebijakan yang diambil oleh para “penguasa parlemen” kita ini ?

Oke mereka berkilah katanya semua sudah sesuai dengan posnya dan sudah dianggarkan jauh-jauh hari. Tapi apakah kebijakan ini tidak bisa direvisi atau ditunda hingga menunggu waktu yang tepat ? Apakah suatu keharusan untuk merenovasi gedung DPR/MPR tahun ini juga ?

Mari kita lihat “kelapangan” terlebih dahulu. Masih banyak rakyat miskin yang mengemis demi sesuap nasi, masih banyak para ilmuwan muda yang menunggu datangnya hibah penelitian dari pemerintah, masih banyak sarana pendidikan yang rusak parah akibatnya tidak terurusnya tempat tersebut. Jadi daripada dana yang katanya mencapai 1,2 triliun rupiah itu digunakan untuk merenovasi gedung parlemen kita, alangkah lebih bijaksananya kalau dana tersebut diposkan untuk kesejahteraan sosial yang saya sebutkan tadi.

            Saya melihat ada keegoisan yang ditunjukkan para anggota parlemen kita dengan tidak mau merivisi atau setidaknya menunda kebijakan yang sudah mereka putuskan. Saya tahu kenapa mereka ngotot mempertahankan keputusan yang telah mereka ambil, semua karena uang !